[Close]

.


Rabu, 28 Juli 2010

TAUFIQ ISMAIL, Jalan Indah Nan Berliku Sang Penyair

Bukittinggi, Sumatera Barat, 25 Juni 1935. Jabang bayi itu lahir dari rahim Tinur Muhamad Nur. Bersegera, pesan via telegram dikirimkan kepada sang suami, A. Gaffar Ismail, yang saat itu tengah berada di Pekalongan, Jawa Tengah.

"Alhamdulillah, anak telah lahir. Laki-laki. Siapa namanya?"

Gaffar Ismail membalas, "Beri nama Taufiq!"

Sontak, keluarga Tinur dan Gaffar menolak. "Jangan dikasih nama abangnya yang baru mati. Nanti umurnya nggak panjang". (Beberapa waktu sebelumnya, Tinur memang sempat melahirkan anak laki-laki yang diberi nama Taufiq Ismail. Namun, bayi mungil itu hanya bertahan hidup 3 bulan).


Tinur kembali mengirimkan telegram. "Reaksi besar dari keluarga. Mereka menolak nama Taufiq Ismail".


"Tetap beri nama Taufiq. Yang menentukan panjang pendek umur bukan nama, tapi Allah", pesan balasan Gaffar, tegas.

Subhanallah, sejak dini, Taufiq Ismail sudah dikenalkan pada sebuah prinsip tauhid, yang sangat mendasar dalam Islam. Dari situlah, pondasi ditanamkan ayahnya yang seorang guru tafsir Al-Qur'an, dan di kemudian hari menjadi wartawan.


Benih-benih Cinta Membaca 

Usia sekolah dasar, saat tinggal di Semarang, sebulan sekali ia mendapat jatah dua buku dari ayahnya. Saat itu, sang ayah menjabat Wakil Pemimpin Redaksi Sinar Baroe, sebuah harian lokal di sana.

"Sekali sebulan saya dibawa ke toko buku naik sepeda. Begitu masuk toko, saya pilih jatah saya lalu disimpan di tempat tersembunyi. Kemudian saya lihat lagi buku yang diinginkan, tapi tak bisa dibeli. Dan saya baca habis di tempat," kata Taufiq, mengenang.

Sebagai Wapemred, ayahnya kerap menggantikan tugas Pemimpin Redaksi, Parada Harahap, jika berhalangan menulis Tajuk Rencana.

Suatu hari, ia melihat nama A. Gaffar Ismail tertera sebagai penulis Tajuk. Ia pun bertanya, "Ayah yang menulis ini?"

Gaffar pun hanya menjawab dengan senyuman. Dan itu cukup untuk membuat Taufiq kecil terkagum-kagum. Karena kagum, mulailah ia meniru.

"Tulisan pertama saya berupa pantun. Biar hurufnya bengkok-bengkok, tetap dimuat di rubrik 'Taman Kanak-kanak' harian Sinar Baroe, tempat ayah bekerja. Dimuat karena pengasuh rubriknya anak buah ayah," kata Taufiq, sembari tertawa ringan.

Dari situ, benih-benih cinta membaca, pun menulis, mulai terpatri dalam dirinya.

Masuk SMA di Pekalongan, Taufiq mendapat beasiswa AFS (American Field Service) belajar selama satu tahun di SMA Whitefish Bay, Milwaukee, Wisconsin, Amerika.

Di sana, kecintaannya pada dunia membaca dan menulis kian mendapat tempat. Tentang itu, ia pun berbagi cerita. Suatu ketika, Mr. Thompson, guru Sejarah di sana menugaskan semua murid membaca buku teks sejarah sebanyak 40 halaman untuk didiskusikan esok harinya.

Taufiq pun mengadu pada ibu asuhnya di sana, Helen Werrbach. "Di SMA Pekalongan saya tak pernah membaca sebanyak itu, dalam sehari. Bahasa Inggris kan bukan bahasa saya," keluhnya saat itu.

Melihat anak asuhnya yang demikian sedih, Helen pun menghadap Mr. Thompson, lalu memohon agar Taufiq mendapat dispensasi.

Alih-alih mendapat keringanan, Thompson malah menjawab, "Yah, itu kan di Pekalongan. Di sini kau harus bisa membaca banyak dan cepat. Tidak ada dispensasi."

Terpaksa, Taufiq pun harus menunaikan tugasnya, dan berdiskusi di kelas keesokan harinya.

Hikmahnya, ia menjadi terlatih dan terbiasa membaca cepat, terutama di kelas sastra. Steinbeck, Hemingway, Sandburg, Dickinson, beruntun harus ia baca. Pantas jika Taufiq sangat berterima kasih pada guru sastra dia, Miss Clara Czarkowski, yang disebutnya "luar biasa menumbuhkan kecintaan saya pada sastra".

Gerakan Kontra Budaya

Dua tahun menjelang Gerakan Tiga Puluh September (Gestapu) 1965, mendung sudah menggelayut di langit Ibu Kota. Orasi aktivis organ Partai Komunis Indonesia (PKI) yang sarat agitasi dan propaganda itu terus bergulir saban hari.

Taufiq Ismail, kala itu masih muda. Baru 28 tahun usianya. Usai lulus dari Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan, Universitas Indonesia (UI), ia bekerja sebagai asisten dosen Manajemen Peternakan di Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, sembari terus mengasah cintanya pada dunia sastra.

Agustus 1963, mendung politik merah kian pekat di langit Jakarta. Bersama para seniman dan sastrawan anti komunis; Wiratmo Soekito, HB Jassin, Trisno Soemardjo, Goenawan Mohamad, Arief Budiman, dan DS Moeljanto,Taufiq turut meneken sebuah pernyataan sikap, Manifes Kebudayaan (oleh komunis diplesetkan dengan singkatan Manikebu, 'sperma dan kerbau').

Seketika seniman se-Indonesia, semisal; WS Rendra, Bokor Hutasuhut, Sori Siregar, Bur Rasuanto mendukungnya. Manifes ini menentang aksi tujuan menghalalkan segala cara, menggunakan organ kesenian dan kebudayaan PKI, Lembaga Kebudayan Rakyat (Lekra), sebagai alat agitasi, salah satunya.

Mei 1964, rezim Demokrasi Terpimpin, melarang Manifes dengan dalih kontra revolusi. Dampaknya, para penandatangan yang tercatat sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) pun dipecat. Mereka antara lain: HB Jassin, Boen S. Oemarjati, Wiratmo Soekito, termasuk Taufiq Ismail. Kejadiannya persis tiga hari menjelang keberangkatannya untuk tugas belajar S2 dan S3 di Universitas Kentucky dan Florida, yang berujung pembatalan. 

Istiqamah di Jalur Sastra 

Alhamdulillah, Gestapu 1965 gagal total. Tokoh-tokoh Manifes, antara lain Taufiq yang nyaris dipenjara, terselamatkan. Kecintaannya pada sastra menuai harapan.

Juli 1966, bersama Mochtar Lubis, PK Ojong Zaini, dan Arief Budiman, Taufiq mendirikan majalah Sastra, Horison, yang masih eksis terbit hingga kini, 2010.

Bersama kolega sastrawannya, sejak 1966, ia menggagas dan mengorganisir "Sepuluh Gerakan Sastra" ke SMA se-Indonesia. Diantaranya; program Sastrawan Bicara Siswa Bertanya (SBSB), Menulis dan Apresiasi Sastra (MAS), yang menghadirkan 113 sastrawan dan 11 aktor/aktris ke 213 SMA di 164 kota.

Intinya adalah ingin memajukan budaya baca buku, dan kemampuan menulis di sekolah," ungkap Taufiq.

Untuk aktifitasnya itu, ia diganjar gelar Doktor Kehormatan dalam Pendidikan Sastra dari Universitas Yogyakarta, dan Doktor Kehormatan dalam Kebudayaan dari Universitas Indonesia.

Sastra, bagi seorang Taufiq adalah jalan yang pas bagi siapapun yang ingin mulai menyukai membaca. Karena sastra, seperti makna harfiahnya, indah. Danitu terwujud dalam karya-karyanya yang fenomenal; 8 Antologi Puisi (diantaranya: Tirani dan Benteng, Malu (AKu) Jadi Orang Indonesia), Prahara Budaya, dan Katastrofi Mendunia, bahkan mendapat anugerah sastra dari pemerintah Indonesia, Thailand, Malaysia dan Singapura.

Semua itu, bukan tanpa halangan. Saat letih mendera, sponsor pun tidak ada, tiba-tiba ada semacam energi yang begitu menyegarkan. "Ternyata, perintah pertama Allah SWT kepada umat manusia adalah membaca, iqra. Artinya jika kita laksanakan, dankemudian di perjalanan mati ketabrak metro mini, misalnya, Insya Allah, syahid", tutur penggemar puisi Robert Frost "Berjalan di RImba di Waktu Salju Tiba" ini, yakin.

Maka, di Rumah Puisi, tempat ia kini menghimpun aktivitas kesusastraannya di Nagari Aie Angek, 6 km dari Bukittinggi, Taufiq sengaja menggantung sebuah baliho bertuliskan "Iqra Bismirabbikalladzi Khalaq". Sebagai pengingat, dan penyemangat diri, rekan dan generasi pelanjut perjuangan.

Lewat sastra, Taufiq Ismail punya mimpi besar, 'Meraih Ridha Allah'. "Saya ingin hidup saya mendapat ridha Allah. Artinya, saya sudah memilih jalur kesusastraan saya semoga menjadi jalan keridhaan Allah". Amiin.

Sumber : Tabloid Alhikmah



0 komentar:

Posting Komentar

zeffa09. Diberdayakan oleh Blogger.

Category

Followers

© Copyright 2010 Long Life Education is proudly powered by blogger.com